Selasa, 24 April 2012

Tiga Sumpah Nabi


Tiga Sumpah Nabi

Kaum muslimin rahimakumullah!
Sumpah biasanya digunakan untuk menunjukkan atau mengemukakan kebenaran yang sesungguhnya. Dengan sumpah, mestinya kita menjadi yakin dan tidak ragu sedikit pun terhadap kebenaran yang dimaksudkan di dalam sumpah itu. Untuk meyakinkan dan menarik perhatian kita tentang suatu persoalan yang sangat penting, Allah SWT di dalam Alquran juga bersumpah dengan menyebut sesuatu. Di dalam hadis, ternyata terdapat juga sumpah Nabi Muhammad saw sehingga apa yang menjadi sumpahnya itu sangat penting untuk kita perhatikan agar kita semakin yakin. Di antara sumpah Nabi adalah tentang tiga perkara sebagaimana hadis berikut.
"Tiga hal yang aku bersumpah atas ketiganya: tidak berkurang harta karena shadaqah, tidak teraniaya seorang hamba dengan aniaya yang ia sabar atasnya melainkan Allah Azza Wa Jalla menambahinya kemuliaan, dan tidak membuka seorang hamba pintu permintaan melainkan Allah membuka atasnya pintu kefakiran." (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Harta Tidak Berkurang karena Shadaqah
Salah satu keharusan kita sebagai muslim dalam kaitan dengan harta adalah menunaikan zakat, infak, dan shadaqah (ZIS). Namun, tidak sedikit orang yang meskipun sudah mengaku muslim tetapi masih tidak mau menunaikan keharusannya itu. Di antara mereka ada yang khawatir bila ZIS itu ditunaikan hartanya akan berkurang, bahkan bisa jadi ia menjadi miskin. Kekhawatiran itu merupakan sesuatu yang tidak beralasan, hal ini karena Rasulullah saw memberikan jaminan bahwa bila seseorang menunaikan shadaqah, maka hartanya justru akan bertambah. Memang pada saat ia keluarkan uang atau hartanya untuk shadaqah, hartanya memang akan berkurang, tetapi dari dampak atau pengaruh positifnya ia akan memperoleh tambahan, baik dalam bentuk jumlah maupun nilai dari harta itu sendiri.
Dalam bentuk jumlah, harta yang dishadaqahkan mungkin saja bertambah, misalnya ia berdagang, setelah keuntungannya besar ia bershadaqah, maka orang yang diberinya shadaqah itu mendo?akan agar hartanya bertambah banyak dan do?a itu pun dikabulkan oleh Allah SWT sehingga perdagangannya semakin laris sehingga semakin banyak yang bisa dijual. Adapun nilai yang besar, ini nampak dari keutamaan yang sedemikian besar yang diberikan Allah SWT kepada orang yang membelanjakan hartanya di jalan yang benar, Allah SWT berfirman, "Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. Pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 261).
Keteraniayaan Membawa Kemuliaan
Ada banyak contoh tentang orang yang dianiaya, manakala mereka tetap sabar dan istiqamah dalam mempertahankan kebenaran yang diyakininya akan membawa pada kemuliaan dirinya dan si penganiaya yang merasa sebagai orang yang jauh lebih mulia menjadi manusia dengan segala kerendahan martabat kepribadian yang disandangkan kepadanya. Nabi Ibrahim as yang ketika itu masih muda belia mengalami penganiayaan dari Raja Nambrut hingga Ibrahim dibakar, lalu ditolong oleh Allah SWT, hal ini bukan membawa kehinaan bagi Nabi Ibrahim tetapi malah menjadikannya orang yang mulia hingga pengikutnya bertambah banyak.
Kaum muslimin di Mekah pada masa Rasulullah saw juga mengalami penganiayaan dari orang-orang kafir, mereka diboikot, dibunuh, disiksa hingga terusir dari kota kelahiran mereka. Namun, hal itu tidak membuat Rasulullah dengan para sahabatnya menjadi hina, tetapi justru membawa kemuliaan. Ketika para sahabat berhijrah ke Habasyah, mereka mendapatkan perlindungan atau suaka dari Raja Najasi yang beragama Nasrani hingga akhirnya sang raja masuk ke dalam Islam, sedangkan Rasulullah bersama para sahabat lainnya berhijrah ke Madinah yang kemudian berhasil menyatukan kaum kaum muslimin dari Mekah dan Madinah hingga menghasilkan kekuatan umat yang disegani.
Di Mesir, para aktivis dakwah pernah mengalami penganiyaan dari penguasa Mesir yang zalim pada waktu itu, penganiayaan dimaksudkan untuk menghambat dan menghentikan langkah-langkah dakwah, tetapi gerakan dakwah justru semakin tersebar luas hingga ke berbagai negara di dunia, karena para aktivis dakwah yang dipenjara menghasilkan karya tulis yang gemilang seperti Sayyid Quthb dengan Fi Dzilalil Qur?an, terbunuhnya Hasan al-Banna menarik simpati dan pengusiran para akltivis dakwah membuat mereka bisa berdakwah ke berbagai negara.
Oleh karena itu, para pejuang kebenaran Islam tidak boleh takut menghadapi segala tantangan dan berbagai kendala, karena hal itu pasti ada saatnya berlalu dan bila para pejuang menghadapi segala tantangan dan kendala dengan sikap istiqamah, maka mereka akan menjadi orang-orang yang mulia, begitulah yang terjadi pada Bilal bin Rabah, sahabat Nabi yang budak lalu dibebaskan oleh Abu Bakar ash Shiddik karena istiqamahnya dalam mempertahankan nilai-nilai tauhid, begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Huzafah yang disambut dengan kemuliaan oleh Khalifah Umar bin Khattab karena ia istiqamah dalam menghadapi penganiayaan yang dilakukan oleh raja Romawi yang kejam.
Mengemis Bertambah Fakir
Seorang muslim sangat dituntut untuk mencari rezeki secara halal dan terhormat guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Karena itu, dalam pandangan Islam bekerja untuk mendapatkan nafkah secara halal merupakan sesuatu yang sangat mulia meskipun jenis pekerjaannya berat secara fisik dan pendapatan dari situ pun tidak besar. Adapun mencari harta dengan cara mengemis merupakan cara yang tidak terhormat meskipun banyak harta yang diperolehnya, Rasulullah saw bersabda yang artinya, "Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak." (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, Rasulullah saw menilai bahwa orang yang kaya itu tidak semata-mata dengan sebab hartanya yang banyak, hal ini karena meskipun jumlah hartanya banyak, namun jika ia tidak pandai bersyukur atas harta yang sudah diperolehnya itu, apalagi dengan hartanya yang banyak ia tidak bermartabat, tetaplah ia dipandang sebagai orang miskin, apalagi bila harta yang dimilikinya dicari dengan cara mengemis yang bila dengan waktunya yang tersedia ia bekerja atau berusaha dengan baik, disamping lebih terhormat, ia akan memperoleh harta yang lebih banyak dengan jiwa yang menyenangkan, Rasulullah saw bersabda, "Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa." (HR Abu Ya?la).
Disamping itu, sumpah Nabi ini menjadi benar karena biasanya semakin lama beban hidup seseorang semakin besar, dan ia akan mampu menutupi kebutuhannya itu dengan berusaha yang halal dan terhormat, namun bila dari mengemis ia tidak memperoleh dalam jumlah yang cukup sehingga di satu sisi kebutuhannya semakin besar, sedang pendapatannya tetap seperti semula, maka jadilah ia bertambah fakir. Karena itu, tidak sedikit orang yang semula mengemis akhirnya menjadi pencuri, karena ia merasa tidak cukup dari hasil mengemis itu, bukankah ini membuat ia bertambah miskin secara ekonomi dan bertambah rendah martabatnya sebagai manusia.
Kaum muslimin yang berbahagia!
Demikianlah tiga sumpah Nabi Muhammad saw yang benar adanya sehingga harus mendapat perhatian kita agar kehidupan ini dapat kita jalani dengan sebaik-baiknya.

Tiga Kenikmatan Hidup


Tiga Kenikmatan Hidup

Kaum muslimin rahimakumullah!
Setiap manusia, apalagi sebagai muslim, tentu mendambakan kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, bahkan kalau perlu seolah-olah dunia ini menjadi milik kita. Untuk bisa merasakan kehikmatan hidup di dunia ini, ada tiga perkara yang harus dicapai oleh seorang muslim, hal ini disebutkan dalam hadis Nabi, "Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Untuk memahami lebih dalam tentang apa yang dimaksud oleh Rasulullah saw, hadis di atas perlu kita pahami dengan baik.
Badan yang Sehat
Badan yang sehat merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi manusia yang tidak ternilai harganya, rasanya tidak ada artinya segala sesuatu yang kita miliki bila kita tidak memiliki kesehatan jasmani. Apa artinya harta yang berlimpah dengan mobil yang mahal harganya, rumah yang besar dan bagus, kedudukan yang tinggi dan segala sesuatu yang sebenarnya menyenangkan untuk hidup di dunia ini bila kita tidak sehat. Oleh karena kesehatan bukan hanya harus dibanggakan dihadapan orang lain, tetapi yang lebih penting lagi adalah harus disyukuri kepada yang menganugerahkannya, yakni Allah SWT.
Kesehatan badan bisa diraih dengan mencegah dari segala penyakit yang akan menyerang tubuh dan mengatur segala keseimbangan yang diperlukannya. Oleh karena itu, tubuh manusia punya hak-hak yang harus dipenuhi, di antara hak-hak itu adalah bersihkan jasmani bila kotor, makan bila lapar, minum bila haus, istirahat bila lelah, berlindung dari panas dan dingin, berobat bila terserang penyakit, dll. Ini merupakan salah satu bentuk dari rasa syukur kepada Allah yang harus kita tunjukkan. Bentuk syukur yang lain adalah memanfaatkan kesehatan jasmani dengan segala kesegaran dan kekuatannya untuk melakukan berbagai aktivitas yang menggambarkan pengabdian kita kepada Allah SWT.
Namun, yang amat disayangkan dan ini diingatkan betul oleh Rasulullah saw adalah banyak manusia yang lupa dengan kondisi kesehatannya. Saat sehat ia tidak mencegah kemungkinan datangnya penyakit, tidak memenuhi hak-hak jasmani dan tidak menggunakan kesehatannya itu untuk melakukan aktivitas pengabdian kepada Allah sehingga pada saat sakit, barulah ia menyesal dengan penyesalan yang sangat dalam.
Rasulullah saw bersabda, "Ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang." (HR Bukhari).
Jiwa yang Tenang
Hal yang tidak kalah pentingnya dari badan yang sehat adalah jiwa yang tenang, sebab apa artinya manusia memiliki jiwa yang sehat bila jiwanya tidak tenang, bahkan badan yang sakit sekalipun tidak menjadi persoalan yang terlalu memberatkan bila dihadapi dengan jiwa yang tenang, apalagi ketenangan jiwa bila menjadi modal yang besar untuk bisa sembuh dari berbagai penyakit.
Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berorientasi kepada Allah SWT, karena itu, orang yang ingin meraih ketenangan hidup dijalani kehidupan dengan segala aktivitasnya karena Allah, dengan ketentuan yang telah digariskan Allah dan untuk meraih ridha dari Allah SWT. Dengan demikian, sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah keimanan kepada Allah SWT dan ia selalu berzikir kepada Allah dengan segala aplikasinya.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram (tenang) dengan mengingat Allah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang." (13: 28).
Oleh karena itu, keimanan kepada Allah yang merupakan sumber ketenangan akan membuat seorang muslim merasa senang untuk mendapatkan beban-beban berat dan tidak ada kegelisahan sedikit pun di dalam hatinya dalam menjalankan tugas-tugas yang berat itu. Abu Na?im dan Ibnu Hibban meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi bahu-membahu membawa satu persatu batu bata yang besar untuk membangun masjid. Tetapi, Ammar bin Yasir justru membawa dua tumpukan batu bata besar. Ketika Nabi melihatnya, beliau membersihkan debu dari kepala Ammar sambil bersabda, "Wahai Ammar, tidakkah cukup bagimu untuk membawa seperti yang dilakukan para sahabatmu?" Ammar menjawab, "Saya mengharapkan pahala dari Allah." Lalu Nabi bersabda, "Sesungguhnya Ammar memiliki keimanan yang penuh dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya atau tulangnya."
Disamping itu, seandainya kematian akan menjemput dirinya, keimanan kepada Allah dengan segala aplikasinya tidak akan membuat seorang muslim takut kepada mati, bahkan ia akan menyambut kematian itu dengan jiwa yang tenang, Allah pun memanggilnya dengan panggilan yang menyenangkan, "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku." (89: 27 -- 30).
Dengan demikian, jiwa yang tenang membuat kehidupan manusia bisa dijalani dengan sebai-baiknya dan memberi manfaat yang besar, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain, sedangkan kematiannya justru akan menjadi kenangan manis bagi orang yang hidup dan ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dengan masuk ke dalam surga dengan segala kenikmatan yang tiada terbayangkan.
Makanan yang Cukup
Makanan, termasuk di dalamnya adalah minuman, merupakan kebutuhan yang sangat pokok dalam kehidupan manusia. Kesehatan manusia tidak bisa dipertahankan bila ia tidak makan dan tidak minum, bahkan tidak sedikit orang yang semula memiliki kekuatan iman tidak bisa lagi dipertahankan keimanannya karena lapar, sedangkan bila situasinya sangat darurat, seorang muslim pun terpaksa harus memakan sesuatu yang pada dasarnya haram untuk dimakan, namun apakah seorang muslim bisa untuk berlama-lama dalam situasi darurat?
Oleh karena itu, memiliki makanan yang cukup atau perekonomian yang memadai merupakan suatu kenikmatan tersendiri dalam hidup ini, sedangkan bila kondisi kehidupan seseorang dalam keadaan lapar, dan ia tidur dalam keadaan yang demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang sangat jelek, karenanya Rasulullah saw selalu berdoa sebagaimana terdapat dalam hadits:
"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lapar, karena ia adalah teman tidur yang paling jelek." (HR Abu Daud, Nasa?I, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, seorang muslim sangat dituntut untuk mencari nafkah, baik untuk diri maupun keluarganya, apalagi bila ia bisa membantu orang lain seperti anak yatim, fakir miskin, dan sebagainya. Itu sebabnya, orang yang mencari nafkah secara halal dan terhormat (bukan dengan cara mengemis atau meminta-minta) sangat dimuliakan oleh Allah SWT. Karenanya setiap muslim harus bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhannya. Bila sudah terpenuhi dan selalu bisa dipenuhi kebutuhan nafkah diri dan keluarganya, maka hal ini merupakan suatu kenikmatan dalam kehidupan dan iman bila dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya pada masa-masa mendatang. Paling tidak, salah satu faktor yang membuat seseorang bisa menjadi kufur telah teratasi.
Kaum muslimin rahimakumullah!
Demikian tiga faktor penting yang membuat manusia bisa dikatakan memperoleh kenikmatan dalam hidupnya di dunia yang sangat berpengaruh pada upaya memperoleh kenikmatan di akhirat kelak. 

Mencapai Hati yang Istiqamah


Mencapai Hati yang Istiqamah


Ma'asyiral muslimin rakhimahullah!
Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan.
Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, "Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."
Oleh karena itu, hati seorang mukmin harus senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada dalam sikap taat kepada Allah SWT. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqamah.
Imam al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat. Hati yang istiqamah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."
Ma'asyiral muslimin rakhimahullah!
Ada banyak cara untuk menggapai hati yang istiqamah ini. Di antaranya: pertama, meletakkan cinta kepada Allah SWT di atas segala-galanya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara, atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Allah di atas segala-galanya.
Padahal, Allah SWT telah menegaskan bahwa siapa yang lebih mencintai sesuatu selain Allah, maka ia justru akan tersiksa dengan rasa cintanya itu. Siapa yang takut karena selain Allah, maka ia justru akan dikuasai oleh rasa takutnya itu. Siapa yang sibuk dengan selain Allah, maka ia akan mengalami kebosonan dan siapa yang mendahulukan yang lain daripada Allah, maka ia tidak akan mendapatkan keberkahan dari-Nya.
Kedua, membesarkan perintah dan larangan Allah. Membesarkan perintah dan larangan Allah harus dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Allah SWT. Allah SWT berfirman yang artinya, "Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah." Ulama dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Mengapa kalian tidak takut akan kebesaran Allah."
Membesarkan perintah Allah di antaranya adalah dengan menjaga waktu salat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.
Ketiga, senantiasa berzikir kepada Allah. Zikir adalah wasiat Allah kepada hamba-hamba-Nya dan wasiat Rasulullah kepada ummatnya. Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam kesibukan, maka Aku akan mengingat-Nya dalam kesibukan yang lebih baik darinya." (HR Bukhari).
Keempat, Mempelajari kisah orang-orang saleh terdahulu. Hal ini diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan.
Allah SWT berfirman, "Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang yang memiliki akal, ...."
Kelima, senantiasa berpikir tentang kebesaran ciptaan Allah. Allah SWT memiliki ciptaan yang indah dan besar. Dengan memikirkan ciptaannya diharapkan bisa menyadari betapa besar kekuasaan Allah terhadap ciptaan-Nya itu. Allah SWT berfirman, "Wahai manusia, telah diberikan kepada kalian beberapa permisalan, maka dengarkanlah (perhatikanlah) permisalan itu. Sesungguhnya orang-orang yang engkau seru selain Allah, mereka tidak akan mampu untuk menciptakan lalat, meskipun untuk melakukannya itu mereka berkumpul bersama?."
Demikianlah beberapa hal yang akan mengantarkan kita kepada hati yang istiqamah. Dan mudah-mudahan saja kita bisa mendapatkannya. 

Menepati Janji


Menepati Janji


Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Allah SWT telah berfirman dalam sebuah ayat yang artinya, "Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk)."
Dinul Islam sejak kedatangannya mempunyai tujuan yang indah, yaitu membangun masyarakat yang ideal penuh dengan keutamaan, jauh dari kehinaan, saling tolong menolong atas dasar taqwa dan kebaikan, serta saling berwasiat dengan kesabaran dan kebenaran. Dinul Islam juga mengajarkan agar setiap muslim menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Dan di antara akhlak yang mulia itu adalah menepati janji. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kalian beribadah kepada selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin."
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Menepati janji Allah dan rasul-Nya adalah pokok pondasi dari semua janji. Bila seseorang berhasil menepati janji Allah dan rasul-Nya, maka ia akan berhasil pula dalam menepati janji lainnya. Sebaliknya, bila ia gagal memenuhi janji Allah dan rasul-Nya, maka ia adalah orang yang tidak lagi memiliki janji dan keamanan. Karena, antara janji dan keimanan saling berhubungan.
Berdasarkan ayat dari surat Al-Baqarah di atas, yang dimaksud dengan janji Allah adalah beribadah hanya kepada-Nya. Adapun yang dimaksud dengan janji rasul adalah mengikuti perjalanan, sirah, dan konsep kehidupannya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya'. Allah berfirman: 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu'? mereka menjawab: 'Kami mengakui'. Allah berfirman: 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu'."
Tidak diragukan lagi, menepati janji selain tanda dari keistiqamahan, ia juga merupakan tiang dari kepercayaan seseorang. Kalau menepati janji tidak ada, maka istiqamah dan kepercayaan juga tidak ada. Allah SWT berfirman: "(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa." Dalam sisi lain, Islam juga mencela bagi mereka yang menghianati amanat. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya binatang(makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dengan mereka, sesudah itu mereka menghianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya)."
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Ada ungkapan yang menyebutkan bahwa janji itu adalah hutang. Oleh karena itu harus dipenuhi. Disamping itu, janji juga akan diminta pertanggungjawabannya. Allah SWT berfirman, "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya." Atau, dalam firman-Nya yang lain, "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah, apabila kalian berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) sesudah meneguhkannya."
Oleh karena itu, siapa saja yang telah berjanji kepada sesama manusia, entah itu berkenaan dengan janji membayar hutang, memenuhi undangan, berkumpul di suatu tempat dan sebagainya, maka janji-janji itu harus dipenuhi dan tak boleh diingkari. Rasulullah saw bersabda, "Ada tiga hal, siapa yang berada di dalamnya, maka dia adalah orang munafik, meskipun dia salat, puasa, haji, berkata bahwa dirinya adalah seorang muslim. Tiga hal tersebut adalah: apabila berbicara berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat, berkhianat."
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Termasuk menepati janji yang perlu diperhatikan adalah membayar hutang. Karena, membayar hutang memiliki kedudukan yang kuat di sisi Allah SWT. Maka, siapa yang telah berhutang, hendaklah ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk memenuhi hutang tersebut, dan Allah akan menjamin pelunasan hutangnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, "Tiga hal yang merupakan kewajiban Allah untuk memberikan pertolongan, yaitu seorang budak mukatab yang berusaha melunasi dirinya, orang yang menikah karena menjaga kehormatan dan orang yang berjihad di jalan Allah."
Hadis di atas memberi kejelasan bahwa Allah memberi udzur bagi orang yang kesulitan membayar hutang karena kondisi yang sulit atau karena adanya musibah. Adapun bagi mereka yang mampu melunasi, tetapi tidak segera membayarkannya, maka hal ini termasuk sikap meremehkan dan kemewahan yang dibenci. Sementara, mereka yang berhutang dan berniat tidak mengembalikannya, ini termasuk orang yang merusak janji. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mengambil harta manusia, karena ingin ditunaikan kepada yang berhak, niscaya Allah akan menyampaikannya. Namun barangsiapa mengambil harta manusia karena ingin dihilangkannya. Maka Allah akan menghilangkannya."
Karena itu, marilah kita takut kepada Allah dan marilah kita penuhi janji-janji dan marilah kita melaksanakan amanat. Rasulullah saw bersabda, "Tidak ada iman bagi yang tidak melaksanakan amanat, dan tidak ada dien bagi yang tidak memenuhi janji."
Wallahu a'lam bishshawab. 

Hukum dan Nilai-Nilai Islam Makin Terkikis


Hukum dan Nilai-Nilai Islam Makin Terkikis

Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Dewasa ini bila kita memperhatikan kondisi umat Islam, maka ada beberapa hal yang bisa kita garis bawahi. Pertama, umat Islam telah kehilangan sumber kekuatannya. Sumber kekuatan umat Islam adalah dien Islam. Hal ini berdasar pada perkataan Umar bin Khaththab ra, "Dahulu kami adalah kaum yang hina, lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Maka setiap kami mengharapkan kemuliaan di luar Islam, Allah menghinakan kami." Karena itu seorang muslim, tidaklah akan mendapatkan kemuliaan bila ia mencarinya di luar Islam. Seorang muslim yang mencari kekuatan di luar Islam, pada hakikatnya ia lemah, meskipun merasa dirinya kuat; ia fakir, meskipun merasa dirinya kaya.
Islam adalah sumber kekuatan. Bila kaum muslimin berpegang teguh dengan Islamnya, niscaya ia akan mengalami kejayaan. Namun bila tidak, ia akan dihinakan oleh Allah dan dijadikan sebagai hidangan bagi anjing-anjing barat.
Persoalan kedua, ikatan Islam terurai sedikit demi sedikit. Dari Abi Amamah al-Bahili ra, Rasululah saw bersabda, "Ikatan Islam betul-betul akan terurai satu persatu. Dan setiap kali terlepas satu ikatan, maka manusia akan bergantung dengan ikatan berikutnya. Yang pertama adalah terlepasnya hukum dan yang terakhir adalah salat." Yang pertama adalah terlepasnya hukum. Hukum ini, beserta ruang lingkupnya, mulai terlepas satu demi satu, semenjak masa khalifatur rasyidin berakhir. Apa yang dahulu ada di kekhalifahan ini, seperti majlis syura, penjagaan harta, dan penyampaian hak-hak mulai hilang satu persatu. Dan berubahlah kekhilafahan yang berbentuk syura kepada raja yang menggigit, yang diwariskan secara turun-temurun dari bapak kepada anaknya. Perkara hukum mulai diserahkan kepada bukan ahlinya dan amanah mulai disepelekan. Rasulullah saw, "Barangsiapa yang menyerahkan (perkara) kaum muslimin ini kepada seseorang, padahal ada orang yang lebih baik darinya, maka ia telah menipu Allah, Rasul dan orang-orang mukmin." Orang yang menyerahkan kekuasaan kepada seseorang, padahal ia tahu ada orang yang lebih ahli dan baik darinya dalam membawa kekuasaan itu, maka ia telah menipu Allah, rasul dan orang-orang mukmin.
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Bila kita melihat fenomena hari ini, maka kita dapati hukum Islam telah terurai satu persatu. Saat ini hukum Islam telah digantikan dengan hukum yang lain. Aturannya diubah dan pemahamannya dikaburkan. Kebodohan, bid'ah, khurafat, gambaran yang rusak dan pemikiran yang membawa kepada kekafiran, juga telah tersebar di tengah kaum muslimin. Ini semua adalah hasil dari perbuatan pemimpin Islam yang menyebarkan kebodohan, meremehkan ilmu dan memerangi dakwah di belahan dunia. Setiap ada dakwah yang bersungguh-sungguh untuk mengajarkan kepada manusia bahwa Allah itu satu, Allah adalah pemilik hukum dan kemuliaan umat Islam terletak pada Islam, maka ia akan dihancurkan, pelakunya dijebloskan ke penjara atau dihukum mati. Sementara dalam waktu bersamaan, ia memberi kesempatan kepada khurafat dan bid'ah untuk berkembang. Maka yang tersebar di tengah manusia adalah kebodohan dan kerusakan.
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Persoalan ketiga, meninggalkan jihad. Jihad adalah bentuk kekuatan kaum muslimin dan sebab kemuliaannya. Dengan jihad kaum muslimin menjadi kuat di hadapan musuh. Hari ini kaum muslimin telah meninggalkan jihad, mencintai dunia dan takut mati. Maka benarlah apa yang telah diprediksikan oleh Rasulullah saw 14 abad silam. Beliau pernah bersabda, "Apabila kalian telah melakukan penjualan secara kredit beserta tambahan harga, mengikuti ekor sapi, suka terhadap pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak dilepaskan dari kalian sampai kalian kembali kepada dien kalian."
Ketika kaum muslimin meninggalkan jihad, maka Allah menimpakan kehinaan kepada mereka. Dahulu, Islam berada dalam satu kekhilafahan, yang merupakan simbol persatuan dan kesatuan. Semua kaum muslimin tunduk pada kekhilafahan ini. Namun setelah kekhilafahan ini runtuh pada tahun 1924, karena meninggalkan jihad, umat Islam berada di bawah kekuasaan orang kafir. Wilayahnya pun direbut dan dibagi-bagi di antara mereka. Untuk Italia, Perancis, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugal. Maka, sebagian umat Islam saat itu berada di bawah kekuasaan Perancis, sedang sebagian yang lain dibawah kekuasan Inggris. Hukum Islam diberangus dan digantikan dengan hukum mereka. Jihad disingkirkan dan kaum muslimin disibukkan dengan perkara-perkara yang remeh.
Wilayah Islam yang dahulu merupakan wilayah yang luas, oleh mereka kemudian dipecah-pecah menjadi negara-negara kecil, yang jumlahnya lebih dari 80 buah. Setiap negara di dalamnya dimunculkan masalah-masalah, disamping dibuat bergantung kepada dirinya. Dimunculkan fitnah dan konspirasi untuk mengadu domba satu dengan yang lainnya. Iran diadu dengan Irak; Yaman dengan Oman; Mesir dengan Sudan, dan sebagainya. Ini semua tentunya menjadikan kaum muslimin semakin lemah.
Disamping mengadu domba, mereka juga menanamkan pengaruh-pengaruhnya: hukum jahiliyah, pendidikan sekuler, perilaku buruk, bahasa dan adat istiadat yang menyimpang. Akibatnya, kaum muslimim tumbuh tidak pada gambaran jernihnya sebagaimana telah diwariskan oleh para pendahulunya. Maka yang muncul adalah perpecahan, perselisihan pandangan dan kekacuan, yang itu semua berujung kepada kehinaan diri.
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Itulah beberapa persoalan umat yang menjadi keprihatinan kita bersama. Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita semua. Amin. Wallahu a'lam bishshowab. 

Tegar dalam Menghadapi Ujian


Tegar dalam Menghadapi Ujian

Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Kehidupan manusia di dunia ini tidak akan terlepas dari ujian, karena ujian adalah sunnah Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (Al-Ankabut: 2--3).
Dalam ayat di atas Allah SWT menyatakan bahwa keimanan yang telah kita ikrarkan akan diuji oleh Allah SWT. Ujian itu bisa berbentuk sakit, miskin, kematian, rasa takut, bencana alam, godaan kekafiran, dan lain sebagainya. Dari ujian yang diberikan ini akan dapat diketahui apakah keimanan yang kita ikrarkan itu benar atau dusta.
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Keimanan bagi seorang muslim adalah sesuatu yang sangat bernilai harganya. Dengan keimanan, amalan dan perbuatan seseorang menjadi bernilai di hadapan Allah SWT. Karena itu, Islam menganjurkan agar seorang muslim mempertahankan keimanan ini dari segala hal yang dapat menghancurkannya. Jangan sampai hanya karena perkara dunia, lalu kita harus menggadaikan keimanan kita.
Dalam hal ini, Rasulullah saw telah memberikan contoh kepada kita betapa beliau tegar dan tegas dalam mempertahankan keimanan ini. Ketika Rasulullah saw mendapat tawaran dari orang kafir untuk mengadakan ibadah bersama, satu hari bersama orang muslim dan hari yang lain bersama orang kafir, maka dengan tegas Rasulullah menolak tawaran yang merusak keimanan ini. Hal ini sebagaimana wahyu yang telah Allah SWT turunkan kepada beliau dalam surat Al-Kafirun ayat 1--6, "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang aku sembah, Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku."
Demikian pula yang dikatakan oleh Rasulullah saw manakala pamannya, Abu Thalib, menyampaikan permintaan orang kafir agar beliau menghentikan dakwahnya. Maka, beliau bersabda, "Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini, maka aku tidak akan meninggalkannnya, sehingga Allah menampakkannya atau menghancurkan yang lain." Kita bisa melihat betapa tegasnya Rasulullah saw dalam mempertahankan keimanan ini.
Maka, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini kemudian memberikan pengaruh yang cukup lekat di hati dan sanubari para sahabat, sebagaimana yang terjadi dalam Perang Khandaq. Di saat orang munafik hampir saja mengadakan perdamaian dengan kabilah Banu Ghatfan dengan memberi sepertiga hasil kurma Madinah. Maka, berkatalah dua Sa'ad, yaitu Sa'ad bin Muaz, pemuka suku Aus, dan Sa'ad bin Ubadah, pemuka suku Khazraj: "Ya Rasulullah, dahulu ketika kami dan mereka masih dalam keadaan menyekutukan Allah dan menyembah berhala dan mereka tidak pernah menerima kurma dari kami selain dengan jalan hutang atau beli. Apakah kini setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dengan memberi petunjuk kami kepada Islam serta kami bangga dengan engkau dan Allah akan kami berikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak perlu berdamai. Demi Allah, kami tidak rela memberikan kepada mereka sesuatu selain pedang, sampai Allah memutuskan sesuatu antara kami dan mereka."
Peristiwa ini lalu dikomentari dalam beberapa kitab tafsir: "Tidaklah Rasulullah saw meridhai perdamaian itu, melainkan beliau ingin menguji keteguhan orang-orang Anshar, ketabahan hati, dan kekuatan izzahnya. Maka, Rasulullah saw melihat pada dua Sa'ad ini apa yang menyenangkan hatinya."
Demikian pula yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malik manakala diboikot oleh kaum muslimin karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Selama 50 hari tak ada seorang pun yang menyapa, menegur, memberi salam, dan menjawab salamnya. Maka bumi ini terasa begitu sempit baginya. Lalu manakala ia tengah berjalan-jalan di pasar, ia mendapati seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di pasar Madinah bertanya: "Siapakah yang suka menunjukkah kepada saya Ka'ab bin Malik." Maka semua orang yang ditanya menunjuk kepada saya. Kemudian orang itu mendekati saya sambil membawa sepucuk surat dari Raja Ghassan yang didalamnya berisi, " Sebenarnya saya telah mendengar bahwa kamu telah diboikot oleh teman-temanmu dan Allah tidak menjadikan kamu orang yang terhina, maka datanglah kepada kami tentu kami akan menerimamu. Apakah yang dilakukan oleh Ka'ab mendapat tawaran seperti itu? Apakah ia akan menjual agamanya, apakah dia akan bergabung dengan orang-orang kafir dan mencari kemulaian di sana, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang?" Tidak, tetapi yang dikatan oleh Ka'ab adalah: "Ini juga sebagai ujian." Lalu ia pergi ke tempat api dan membakar surat itu. Mengapa ia membakar surat itu? karena ia tahu bahwa Rasulullah saw adalah sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Dalam surat Al-Baqarah Allah SWT berfirman: "Sekali-kali orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela terhadap kamu, sehingga kamu mengikuti agama mereka."
Dalam ayat di atas jelas bahwa upaya orang-orang Nasrani dan Yahudi untuk menghancurkan keimanan kita akan senantiasa terus ada. Maka, yang terpenting bagi kita adalah tetap tegar untuk mempertahankan keimanan ini. Sekian, wallahu a'lam. 

Jangan Bunuh Anak-Anak


Jangan Bunuh Anak-Anak


Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Dalam kehidupan sebuah rumah tangga, kehadiran anak adalah anugerah dan kebahagian tersendiri bagi orang tua. Ini sesuai dengan fitrah manusia yang suka kepada anak-anak. Allah berfirman yang artinya, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan...." (Ali Imran: 14).
Namun, di balik kebahagian dan kecintaan ini ada amanat yang besar. Ada hak yang harus dipenuhi oleh orang tua. Islam mewasiatkan kepada orang tua agar menjaga dan melaksanakan hak ini secara sempurna sebagaimana telah diajarkan dalam kitab dan sunah. Allah SWT berfirman berkenaan dengan hak anak, yang artinya "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka."
Sebab munculnya ayat di atas karena kebiasaan orang jahiliyah, yang karena hiasan dari setan, membunuh anak perempuan karena aib (malu), sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya." (At-Takwir: 8). Orang yang akan ditanya dalam ayat ini adalah mereka yang telah membunuh bayi yang tidak berdosa itu hanya karena Allah telah menciptakannya sebagai perempuan. Mereka marah dan malu kalau mendapat kabar kelahiran anaknya adalah perempuan, padahal perempuan itu telah mereka nisbahkan kepada Allah. Allah berfirman, "Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah burukunya apa yang mereka tetapkan itu." (An-Nahl: 57 -- 59).
Selain karena aib, barangkali mereka membunuh anak itu juga karena kemiskinan. Dalam sebuah hadis, Abdullah bin Mas'ud ra berkata, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Beliau menjawab: "Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu." Lalu saya bertanya, "Apalagi ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Engkau bunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu." Saya bertanya, "Kemudian apa lagi ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Engkau menzinahi istri tetanggamu," kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah yang artinya: "Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina....
Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa pembunuhan terhadap anak-anak pada masa jahiliyah karena takut kemiskinan, sebagaimana tersebut dalam firman Allah: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karerna takut (imlaq) kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu." Ibnu Abbas berkata, "Yang dimaksud dengan imlaq adalah kefakiran. Sehingga, makna ayat adalah: "Janganlah engkau membunuh mereka karena kelaparannya."
Ma'asyiral muslimin rakhimakumullah!
Dalam surat Al-Isra' Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan...." Artinya, takut di masa datang akan muncul kemiskinan. Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah berfirman: "Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." Maka, Allah memberikan rezeki kepada mereka sebagi perhatian kepadanya. Maksud dari ayat ini adalah janganlah kalian takut miskin karena adanya anak. Karena Allahlah yang akan memberi rezeki kepada para makhluknya. Allah SWT berfiman, "Dan tidaklah Aku menciptkan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan Aku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki Yang Mempunyai Kekuatan Lagi Sangat Kokoh." (Adz-Dzariat: 56 -- 57).
Ayat ini menjelaskan sebab munculnya pembunuhan terhadap anak adalah dari bisikan dan hiasan setan agar mereka hancur dan berada dalam kesesatan, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-An'am ayat 137: "Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya...." (Al-An'am: 137). Yaitu, agar dien mereka kabur sehingga bercampur antara yang hak dan batil, yang menyebabkan diri mereka menjadi tersesat.
Sesungguhnya orang yang membunuh anak-anaknya akan rugi di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang telah Allah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah.."(Al-An'am: 140).
Kerugian di dunia dalam bentuk kematian anak, kesempitan rezeki karena mereka telah mengharamkan sesuatu yang mereka ada-adakan sendiri. Adapun kerugian di akhirat akan menghantarkan kepada kedudukan yang paling buruk karena kedustaan mereka terhadap Allah. Wallahu a'lam.